Langsung ke konten utama

WISATA SEKSUAL PEKERJA TAMBANG DI LOKALISASI KAWASAN TAMBANG



WISATA SEKSUAL PEKERJA TAMBANG
 DI LOKALISASI KAWASAN TAMBANG 

Martain


Abstract
Kemunculan praktek prostitusi di kawasan tambang tentu saja bukanlah hal baru, praktek ini sudah berlangsung lama, hal ini tidak terlepas dari  kebutuhan dasariah  manusia terhadap seks . Di Indonesia  praktek ini sudah berlangsung sejak zaman kerajaan di Nusantara. Kemudian berlanjut pada zaman kolonial hingga saat ini. Praktek ini di masyarakat terjadi pro dan kontra. Bagi mereka yang pro akan menilai bahwa praktek ini baik, karena praktek ini dapat menjadi alternatif pilihan ketika libido seksual muncul. Namun bagi yang kontra menilai bahwa aktvitas penuh desah dan keringat ini, bertentangan dengan nilai moral dan agama yang berlaku di dalam masyarakat. Selain itu praktek prostitusi ini rentan pula terhadap terjadinya penyebaran penyakit kelamin, HIV/AIDS. Dalam praktek nya kegiatan ini, bisa berjalan secara mandiri  ataupun secara terorganisir. Faktor dominan yang memantik praktek ini adalah kondisi ekonomi-sosial pelaku, ingin kaya tanpa kerja keras, pengalaman traumatis, prilaku konsumerisme atau pun libido seksual abnormal (hyperseks). Beberapa tindakan dapat dilakukan untuk mencegah dan mengurangi praktek prostitusi, yaitu: (1). Tindakan Preventif (khusus-umum); (2). Tindakan Represif

Kata Kunci: Prostitusi, Pekerja Seks Komersial, Perusahaan.



Pendahuluan
Praktek prostitusi di dunia bisnis tentunya bukan lagi hal yang tabuh. Sebagian perusahaan menjadikan aktivitas penuh keringat dan desahan ini sebagai komoditi utama dalam aktivitasnya. Dalam prakteknya pun beragam, ada yang dilakukan di jalan, di lokalisasi, di hotel/penginapan/kost dan saat ini yang trend adalah bisnis seks secara  online. Para PSKnya pun beragam daerah asalnya, ada yang lokal dan ada pula yang berarasal dari luar (asing).

Di Indonesia sendiri ada beberapa kawasan yang menjadi penyuplai terbesar dari PSK ini. Menurut Koentjoro (dalam Akhmad Sudrajat:2008), mengidentifikasi 11 kabupaten di Jawa yang dalam sejarah terkenal sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan dan sampai sekarang daerah tersebut masih terkenal sebagai sumber wanita pelacur untuk daerah kota. Daerah tersebut diantaranya adalah Kabupaten Indramayu, Karawang, dan Kuningan di Jawa Barat; Pati, Jepara, Grobogan dan Wonogiri di Jawa Tengah; serta Blitar, Malang, Banyuwangi dan Lamongan di Jawa Timur.

Konon ceritanya perempuan-perempuan tersebut dikirim ke Jawa untuk menjadi budak, gundik ataupun selir dari para raja. Menurut Wakhudin (dalam Akhmad Sudrajat:2008) di ungkapkan bahwa raja mempunyai kekuasaan penuh seluruh yang ada di atas tanah Jawa, bumi dan seluruh kehidupannya adalah milik raja. Tugas raja pada saat itu adalah menetapkan hukum dan menegakkan keadilan dan semua orang diharuskan mematuhinya tanpa terkecuali. Kekuasaan raja yang absolutely (tidak terbatas) memungkinkan raja untuk melakukan apapun tak terkecuali adalah beristri lebih dari pada satu. Dalam sejarah mencatat bahwa para raja memperbanyak istri (selir/gundik) dimaksudkan untuk melanggengkan dan meluaskan kekuasaannya. Karena dengan banyak istri, raja dimungkinkan untuk punya banyak anak, dengan banyak anak maka raja dengan mudahnya akan melakukan reproduksi kekuasaan menjadi semakin lebih besar kekuasaannya..

Hull (dalam Akmad Sudrajat:2008) mengungkapkan bahwa pada zaman kolonialisme, industrialisasi seks yang terorganisir lebih besar semakin berkembang. Kondisi tersebut terlihat dengan adanya sistem perbudakan tradisional dan perseliran yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan seks masyarakat Eropa. Umumnya, aktivitas ini berkembang di daerah-daerah sekitar pelabuhan di Nusantara, untuk memenuhi hasrat seksual dari para serdadu, pedagang dan para utusan yang datang dari Eropa.

Dalam fase perkembangannya pemerintah saat itu, sempat mengeluarkan beberapa regulasi dan kebijakan terkait komersialisasi seksual ini. Karena munculnya sejumlah permasalahan sebagai akibat dari praktek seksual. Sekitar tahun 1600-an pemerintah pernah mengeluarkan peraturan yang melarang keluarga pemeluk agama tertentu mempekerjakan wanita pribumi sebagai pembantu rumah tangga dan melarang setiap orang mengundang perempuan baik-baik untuk berzinah.

Pada tahun 1650, didirikan “panti perbaikan perempuan” (house of correction for women) dengan maksud untuk merehabilitasi para perempuan yang bekerja sebagai pemuas kebutuhan seks orang-orang Eropa dan melindungi mereka dari kecaman masyarakat. Tahun 1852, pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang menyetujui komersialisasi industri seks tetapi dengan serangkaian aturan untuk menghindari tindakan kejahatan yang timbul akibat aktivitas prostitusi. Semua pekerja seks komersial yang terdaftar diwajibkan memiliki kartu kesehatan dan secara rutin (setiap minggu) menjalani pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi adanya penyakit syphilis atau penyakit kelamin lainnya.

Selanjutnya regulasi tersebut (1852) direvisi lagi, yang tadinya pengelolaan dan pengawasan atas aktivitas seks ini dilakukan oleh pusat, maka dirubah menjadi daerah. Daerah diberi otonomi untuk mengatur dan mengawasi aktivitas prostitusi yang ada di daerahnya masing-masing dengan ketentuan bahwa masing-masing daerah wajib untuk melakukan penempatan dan pemeriksaan secara berkala terhadap kesehatan para PSK.

Menurut Data ESKA (2013) (dalam kompas.com:14 Oktober 2008), sekurangnya 150.000 anak Indonesia menjadi korban pelacuran anak dan pornografi dan 70 % dari anak yang menjadi korbannya berusia 14-16 tahun (usia produktif), sedangkan berdasarkan hasil hitung-hitungan yang dilakukan oleh biro riset info bank, nilai traksaksi pelacuran sekitar 5,5 Triliun, dari asumsi 193.000-270.000 jumlah PSK yang ada di Indonesia yang dimuat (dalam infobanknews.com, 23/8/2012). Berdasarkan data Departemene Kesehatan, diperkirakan ada 6,7 juta laki-laki yang membeli seks pada tahun 2012.

Dalam lentera.com diungkapkan bahwa di setiap kecamatan yang ada di Kab. Kutai Barat Kalimantan Timur terdapat prostitusi yang dilegal kan. Di lombok menurut hasil riset Santai Mataram di dalam gugus tugas tracficking.com diungkapkan bahwa, 70% anak usia 18 tahun sudah terjebak dalam dunia pelacuran, 51,72% berusia antara 16-18 tahun. Di tempat lain di Kab. Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan ada lokalisasi yang disediakan khusus bagi pekerja tambang yang jauh dari keluarga. Di Solok Selatan Sumatra Barat dekat tambang emas, di dalam hutan dibangunkan lokalisasi tempat prostitusi.Alasan mendasar para PSK memilih untuk bekerja sebagai PSK adalah faktor Ekonomi, kemudian pendidikan rendah, serta pengaruh lingkungan (teman, media massa dan media lainnya).

Prablemnya adalah pekerja tambang rata-rata adalah pria, tinggal jauh dari keluarga. Ketika libidonya muncul, lokalisasi yang ada di sekitar kawasan kerja mereka dapat menjadi alternatif pilihan. Apalagi jika di topang dengan budget yang memadai, dan nilai keagamaan yang kurang, serta adanya pihak yang menyediakan jasa tersebut, maka konspirasi libido seksual semakin dimungkinkan untuk terwujud.

Sesungguhnya hal ini secara alamiah adalah lumrah adanya karena erat kaitannya dengan  kebutuhan biologis sebagai manusia, dan menjadi tidak lumrah ketika ini bertentangan dengan, nilai-nilai yang telah disepakati dimasyarakat, Ketika ini coba untuk dikorelasikan dengan sektor bisnis dalam hal ini adalah bisnis tambang, maka akan berimpect pada faktor sosiologis dari perusahaan tersebut dimata masyarakat, masyarakat akan menilai bahwa perusahaan tersebut gagal dalam menjaga moral pekerjanya karena secara etis dan secara hukum perusahaan memiliki tanggung jawab untuk menjaga kesehatan dan keselamatan pekerjanya, bukan hanya bicara tentang maksimalisasi profit, karena pekerja merupakan bagian dari sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan selain sumber-sumber yang lain yang dimiliki oleh perusahaan. Pertanyaannya kemudian adalah apakah para pekerja di kawasan pertambangan menyadari betul atau tidak, jika praktek prostitusi yang dilakukan oleh para pekerja di lihat oleh masyarakat disekitar operasi perusahaan? tidak kah mereka menyadari bahwa praktek prostitusi yang mereka lakukan berdampak negatif bagi perusahaan tempat mereka bekerja, dan bukan kah itu adalah bagian dari pengingkaran kontrak sosial antara pekerja, perusahaan dengan masyarakat sekitar, antara pekerja dengan perusahaan itu sendiri, juga berimbas kepada menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat (konsumen) terhadap bisnis itu sendiri. Pertanyaan tersebut lah yang akan menjadi fokus kajian dari tulisan ini.



 Pengertian Prostitusi
Prostitusi menurut KBBI (2002:793) diartikan sebagai “suatu pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan”. Sementara menurut Ensiklopedia Indonesia (1998:278) “ prostitusi berarti pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai transaksi perdagangan. “

Menurut Soekanto (1990:102) mengatakan bahwa “sejak adanya norma perkawinan dalam pergaulan hidup manusia, sejak itu pula ada ada gejala penyimpangan dari norma perkawinan dalam masyarakat yang kemudian dikenal dengan prostitusi. Prostitusi merupakan bisnis yang tidak pernah lesu, selalu saja ada peminatnya, dan sebagian dari mereka menfasilitasinya, hasrat birahi atau seks ini merupakan sebuah dorongan naluri alamiah yang ada pada tiap manusia, kemudian diwujudkan dalam bentuk yang tidak normal tanpa melalui ikatan perkawinan yang sah, prilaku tersebut merupakan awal dari terjadinya prostitusi.  

Menurut koentjaraningrat (1981:109) penyebab prostitusi adalah “…..dorongan seks, dorongan ini malahan telah menarik perhatian banyak ahli psikologi, dan berbagai teori telah dikembangkan sekitar soal ini. Suatu hal yang jelas adalah bahwa dorongan ini timbul pada tiap individu yang normal tanpa terkenah pengaruh ilmu pengetahuan, dan memang dorongan ini mempunyai landasan biologis yang mendorong mahkluk manusia untuk membentuk keturunan yang melanjutkan jenisnya.”

Prostitusi berada diantara norma yang ambigu, disatu sisi dibatasi oleh norma hukum, di sisi yang lain banyak peminatnya apalagi bagi sebagian orang prostitusi merupakan ladang bisnis yang menguntungkan.

Pekerja Seks Komersial (PSK)
Pelacur merupakan seseorang yang melacurkan dirinya baik wanita maupun pria yang bekerja secara penuh maupun sampingan. Tahun 1960-an oleh Dinas Sosial  disebut pelacur, kemudian diperhalus menjadi Wanita Tuna Susila (WTS), kemudian berubah lagi dengan istilah Pekerja Seks Komersial (PSK).

Salah satu penyebab seseorang terlibat dalam dunia prostitusi disamping karena pendidikan yang rendah adalah alasan kemiskinan. Sebenarnya bukan akibat faktor kemiskinan semata, tetapi ke engganan untuk mencari pekerjaan yang lebih baik dan layak dipandang masyarakat.

Mereka dengan pendidikan rendah, tanpa keahlian tertentu, kemungkinan jenis pekerjaan yang didapat adalah pekerjaan kasar, banyak menguras tenaga. Mereka yang enggan untuk bekerja keras, maka menjadi PSK adalah salah atu alternatif pilihan. Sikap tidak suka bekerja keras dan lebih suka mendapat hasil instant tanpa bersusah payah, hal ini lah yang berperan mendorong perempuan terutama yang dianugrahi kecantikan serta usia muda untuk terlibat kelahan bisnis prostitusi. Dengan modal kecantikan, usia muda dan bentuk tubuh yang bahenol yang dapat membangkitkan gairah seksual merupakan modal utama para PSK untuk menggaet pelanggan.

Partodijojo (dalam dirdjosisworo, 1977:79-80) mengklasifikasikan PSK ke dalam tiga golongan yakni, golongan bawah, tengah dan atas berupa ciri-cirinya baik berupa pekerjaan, tempat dan tarif yang ditentukan:
1.      Golongan Rendah
PSK yang bergelandangan sepanjang tempat-tempat umum dan biasa disebut sebagai street prostitutes. PSK yang bersarang di kampung atau di pinggir kota (hoerenkrotten) tarifnya amat rendah. Sebagian besar langganannya adalah buruh-buruh pabrik, pedagang kecil, tukang becak dan lain-lain sebagainya yang berpenghasilan kecil. Tetapi kadang-kadang terdapat pula tingkat yang punya duit atau pemuda-pemuda iseng yang hanya ingin melepaskan dorongan seksualnya dengan PSK-PSK tersebut .

Golongan ini merupakan bahaya bagi masyarakat, baik oleh karena mereka itu sebagian besar dijangkiti penyakit kelamin, karena tidak ditempatkan dibawah pengawasan dokter, maupun karena merusak jiwa dan kesehatan pemuda disekitarnya.

2.      Golongan Menengah  
Prostitusi yang bersarang dirumah-rumah penginapan atau rumah-rumah bordil yang cukup baik tampilannya, biasanya berparas cantik, berdandan tidak mencolok dan mempunyai tingkah laku yang lebih sopan. Tarifnya sendiri lebih tinggi dari golongan rendah, pelanggannya kebanyakan orang berduit.

PSK jenis ini sudah cukup pengertiannya tentang pemeliharaan kesehatan, biasanya atas kemauan sendiri pada waktu-waktu tertentu memeriksakan dirinya ke dokter. Dilihat dari sudut medis bahaya terhadap penularan penyakit kelamin dibandingkan dengan golongan rendah agak kurang.

3.      Golongan Atas
PSK yang bersarang di hotel-hotel besar. Paras dan pakaian dan sebagainya lebih sempurna apabila dibandingkan dengan golongan menengah dan tentu saja tarifnya lebih tinggi. Dalam golongan ini dapat dimasukkan PSK-PSK yang menyediakan dirinya untuk dipanggil atas pesanan, umumnya mereka memperhatikan perawatan kesehatan

Tingkatan dalam golongan PSK timbul akibat perbedaan tarif dan tempat Dari ketiga golongan diatas tentunya yang paling banyak adalah golongan rendah. Hal ini lebih dikarenakan tekanan ekonomi sekedar menyambung hidup tarifnya yang rendah menyesuaikan dengan pasarnya yang berupa pria yang berpenghasilan menengah ke bawah. PSK golongan atas dapat berubah kelas apabila sudah tidak banyak peminatnya, mempunyai kemungkinan ia akan turun tingkatan menjadi golongan menengah.



Penyebab Prostitusi
Scoot (dalam Dirdjisworo, 1977:90) “ sebab sebenarnya dari prostitusi adalah keinginan seksual laki-laki, keinginan ini kemudian menciptakan kehendak untuk berzinah diluar pernikahan dan kenyataan bahwa laki-laki itu bersedia membayar keperluan pemuas seksualnya.” Pernyataan scoot ini memberikan pengertian bahwa prostitusi diawali dari keinginan laki-laki untuk berhubungan seksual dengan seseorang yang bukan istrinya, kemudian ia mencari pelampiasan dan disisi lain ada pihak yang bersedia memuaskan keinginannya tersebut dengan bayaran tertentu.

Wahyunadi dkk (2004:31) mengatakan “prostitusi diantaranya timbul akibat gaya hidup yang setiap saat di dengar dan dilihat dalam masyarakat seperti prilaku konsumerisme, narkoba dan seks.“ Seseorang apabila berada ditengah masyarakat dengan gaya hidup yang tinggi, tetapi kemampuan hidupnya pas-pasan dan ketidak mauan untuk bekerja keras, akan menyeret seseorang terlibat ke dalam dunia prostitusi sebagai jalan pintas untuk pemuas semua kebutuhan jasmaniahnya.

Kartono (1999:242-244) mengemukakan beberapa peristiwa sosial yang merupakan sebab timbulnya prostitusi, hal tersebut meliputi:
1.    Tidak adanya Undang-Undang yang melarang prostitusi juga tidak ada larangan terhadap orang-orang yang melakukan relasi seks sebelum pernikahan atau diluar pernikahan. Yang dilarang dan diancam dengan hukuman ialah praktik germo (pasal 296 KUHP) dan mucikari (pasal 506 KUHP). KUHP 506 berbunyi barang siapa sebagai mucikari mengambil untung dari perbuatan cabul seorang perempuan, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun. Namun dalam praktiknya dikehidupan sehari-hari, pekerjaan sebagai mucikari ini selalu ditoleransi, secara inkonvensional dianggap sah ataupun dijadikan sumber pendapatan dan pemerasan yang tidak resmi.
2.    Adanya keinginan dan dorongan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks, khususnya diluar ikatan pernikahan.
3.    Komersialisasi seks, di sini baik pihak PSK, germo maupun oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan pelayanan seks. Jadi, seks dijadikan alat yang jamak guna berbagai tujuan komersialisasi diluar pernikahan.
4.    Dekadensi moral, merosotnya norma-norma susila dan keagamaan pada saat-saat orang-orang mengenyam kesejahteraan hidup, ada pemutarbalikan nilai-nilai pernikahan sejati.
5.    Semakin besarnya penghinaan orang terhadap harkat dan martabat kaum wanita.
6.    Kebudayaan eksploitasi pada zaman modern ini, khususnya mengeksploitasi kaum wanita untuk tujuan yang bersifat komersil.
7.    Ekonomi laissez-faire menyebabkan timbulnya sistem harga berdasarkan hukum “jual dan permintaan” yang ternyata diterapkan pula dalam relaksi seks.
8.    Peperangan dan masa pemberontakan di dalam negeri dalam meningkatkan jumlah prostitusi.
9.    Adanya proyek-proyek pembangunan dan pembukaan daerah-daerah pertambangan dengan konsentrasi kaum pria, sehingga mengakibatkan adanya ketidakseimbangan rasio antara jumlah lelaki dan wanita ditempat tersebut.
10.  Perkembangan kota-kota, daerah-daerah pelabuhan dan industri yang sangat cepat dan menyerap banyak tenaga kerja buruh serta pegawai pria. Terlebih laju urbanisasi yang tidak terkendali bagi mereka kaum wanita yang tidak punya keterampilan dan keahlian tertentu jalan singkatnya adalah menjadi PSK itu sendiri. Bertemunya macam-macam kebudayaan asing dan kebudayaan setempat tanpa adanya usaha untuk menfilternya. Di daerah perkotaan mengakibatkan perubahan sosial yang cepat dan radikal, sehingga masyarakat menjadi sangat labil. Terjadi banyak konflik dan kurang adanya konsesus/persetujuan mengenai norma-norma kesusilaan diantara anggota masyarakat. Kondisi sosial menjadi terpecah sedemikian rupah, sehingga timbul suatu masyarakat yang tidak dapat diintegrasikan, maka terjadilah disorganisasi sosial, sehingga mengakibatkan breakdown atau kepatahan pada kontrol sosial, tradisi dan norma-norma susila banyak dilanggar. Maka tidak sedikit wanita muda mengalami disorganisasi pribadi dan secara elementer bertingkah laku semaunya sendiri memenuhi kebutuhan akan seks dan kebutuhan hidup lainnya dengan cara melacurkan diri.

Berdaskan keterangan diatas terlihat bahwa prostitusi merupakan sebuah gejala yang melibatkan banyak hal, terutama adalah keinginan laki-laki untuk menyalurkan hasrat seksual kepada bukan pasangan resminya. Pembangunan kota atau industri yang besar disuatu tempat yang didominasi oleh laki-laki akan memicu permintaan yang tinggi terhadap PSK, terutama apabila dalam jangkah waktu bekerja bertahun-tahun dan terpisah jauh dari keluarga terutama istrinya.    



Pelaku Prostitusi
PSK sering kali tidak bekerja sendiri, melainkan banyak pihak yang terlibat dalam praktek prostitusi seperti germo, calo, pelanggan, dan lainnya. Sulit untuk memutus mata rantai dari prostitusi ini. Karena mereka saling menguntungkan dan masing-masing saling menjalankan perannya. Dirdjosisworo (1977:45-46), mengemukakan beberapa peran yang ada dalam dunia prostitusi, peran mereka dapat berupa:
1.    PSK adalah wanita yang menyerahkan diri atau tubuhnya kepada banyak laki-laki tanpa pilihan, yang untuk penyerahannya memperoleh pembayaran dari laki-laki yang menerima penyerahan tersebut. Dengan pembayaran yang diterima PSK menjadikan sebagai pekerjaannya, baik dengan atau tanpa pencaharian lainnya.
2.    Langganan PSK atau prostituant yaitu orang melacur atau yang membayar seorang PSK untuk memenuhi naluri seksnya dalam mencapai kepuasaan.
3.    Germo atau yang sehari-hari banyak disebut dengan panggilan mami, ibu, tante dan sebagainya adalah orang yang mata pencahariannya baik sembilan atau sepenuhnya, mengadakan atau turut serta mengadakan, membiayai, menyewakan, membuka dan memimpin serta mengatur  tempat untuk prostitusi yakni dengan mempertemukan atau memungkinkan bertemunya PSK dengan langganannya.
4.    Calo merupakan orang yang mata pencahariannya mempertemukan PSK dengan si pemakai atau pelanggannya. Pekerjaannya dapat sepenuhnya ataupun hanya sebagai sampingan saja dari pekerjaan lain.
5.    Pedagang atau penjual wanita  yaitu mereka yang mencari keuntungan dengan membujuk, membawa atau melarikan orang gadis/wanita yang kemudian dibujuk baik secara terang-terangan maupun samar kemudian wanita tadi bekerja sebagai PSK.

Praktek Prostitusi Pekerja Tambang di Lokalisasi Kawasan Tambang
Salah satu sektor yang menyumbang devisa negara yang dominan adalah sektor pertambangan. Sektor ini menyumbang 36% dari pendapatan negara pada tahun 2008 (Kementerian ESDM, 2009 dalam Dedek Apriyanto,tanpa tahun:290). Sektor pertambangan selain sebagai sumber devisa, juga dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar sehingga akan berdampak positif dalam pembukaan lapangan kerja.

Namun dibalik dari dampak positif dari tambang tersebut, ada sisi lain dari pertambangan yang tidak kalah menarik adalah menjamurnya lokalisasi di kawasan tambang. Munculnya fenomena tersebut di daerah kawasan tambang, tidak bisa di lepaskan dengn kebutuhan seks manusia, yang kemudian di tunjang oleh adanya duit dan penyedia jasanya. Alasan jauh dari keluarga (istri), lemahnya nilai-nilai keagamaan dan pengaruh lingkungan menjadi alasan yang tak terbantahkan lagi sebagai penyebab kemunculan  fenomena ini. Akibatnya hukum permintaan dan penawaran yang didorong oleh faktor-faktor situasi dan kondisi yang ada, maka  terbentuklah “pasar” dimana terjadi transaksi jual beli seks antara yang membutuhkan dengan yang menyediakan. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa tingginya peredaran uang di daerah tambang, maka dimungkinkan bagi pekerja untuk melakukan transaksi seksual dengan para PSK yang ada dikawasan pertambangan.

Sementara itu, para PSK yang menjajahkan diri disekitar kawasan tambang banyak faktor yang mendasarinya mengapa mereka memilih kegiatan ini sebagai profesi, diantaranya situasi ekonomi yang serba sulit sehingga mereka memilih untuk menjual tubuhnya. Faktor lainnya, yaitu adanya nafsu-nafsu seks yang abnormal dan tidak terintegrasi dalam kepribadian sehingga merasa tidak puas dengan relasi seks dengan pasangan resminya.

Secara lebih rinci  oleh Kartono (2005), dalam www.e-jurnal.com: 2013: alinea 4), menjelaskan faktor-faktor yang melatar belakangi seseorang terjun sebagai PSK adalah sebagai berikut:
  1. Adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita untuk menghindarkan diri dari kesulitan hidup, dan mendapatkan kesenangan melalui jalan pendek. Kurang pengertian, kurang pendidikan, dan buta huruf, sehingga menghalalkan pelacuran.
  2. Ada nafsu-nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian, dan keroyalan seks. Hysteris dan hyperseks, sehingga tidak merasa puas mengadakan relasi seks dengan satu pria/suami.
  3. Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan, dan pertimbangan-pertimbangan ekonomis untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, khususnya dalam usaha mendapatkan status sosial yang lebih baik.
  4. Aspirasi materil yang tinggi pada diri wanita dan kesenangan ketamakan terhadap pakaian-pakaian indah dan perhiasan mewah. Ingin hidup bermewah-mewah, namun malas bekerja.
  5. Kompensasi terhadap perasaan-perasaan inferior. Jadi ada adjustment yang negatif, terutama sekali tarjadi pada masa puber. Ada keinginan untuk melebihi kakak, ibu sendiri, teman putri, tante-tante atau wanita-wanita lainnya.
  6. Rasa ingin tahu gadis-gadis cilik dan anak-anak puber pada masalah seks, yang kemudian tercebur dalam dunia pelacuran oleh bujukan bandit-bandit seks.
  7. Anak-anak gadis memberontak terhadap otoritas orang tua yang menekankan banyak tabu dan peraturan seks. Juga memberontak terhadap masyarakat dan norma-norma susila yang dianggap terlalu mengekang diri anak-anak remaja, mereka lebih menyukai pola seks bebas.
  8. Pada masa kanak-kanak pernah malakukan relasi seks atau suka melakukan hubungan seks sebelum perkawinan (ada premarital sexrelation) untuk sekedar iseng atau untuk menikmati “masa indah” di kala muda.
  9. Gadis-gadis dari daerah slum (perkampungan-perkampungan melarat dan kotor dengan lingkungan yang immoral yang sejak kecilnya selalu melihat persenggamaan orang-orang dewasa secara kasar dan terbuka, sehingga terkondisikan mentalnya dengan tindak-tindak asusila). Lalu menggunakan mekanisme promiskuitas/pelacuran untuk mempertahankan hidupnya.
  10. Bujuk rayu kaum laki-laki dan para calo, terutama yang menjajikan pekerjaan-pekerjaan terhormat dengan gaji tinggi.
  11. Banyaknya stimulasi seksual dalam bentuk: film-film biru, gambar-gambar porno, bacaan cabul, geng-geng anak muda yang mempraktikkan seks dan lain-lain.
  12. Gadis-gadis pelayan toko dan pembantu rumah tangga tunduk dan patuh melayani kebutuhan-kebutuhan seks dari majikannya untuk tetap mempertahankan pekerjaannya.
  13. Penundaan perkawinan, jauh sesudah kematangan biologis, disebabkan oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomis dan standar hidup yang tinggi. Lebih suka melacurkan diri dari pada kawin.
  14. Disorganisasi dan disintegrasi dari kehidupan keluarga, broken home, ayah dan ibu lari, kawin lagi atau hidup bersama dengan partner lain. Sehingga anak gadis merasa sangat sengsara batinnya, tidak bahagia, memberontak, lalu menghibur diri terjun dalam dunia pelacuran.
  15. Mobilitas dari jabatan atau pekerjaan kaum laki-laki dan tidak sempat membawa keluarganya.
  16. Adanya ambisi-ambisi besar pada diri wanita untuk mendapatkan status sosial yang tinggi, dengan jalan yang mudah tanpa kerja berat, tanpa suatu skill atau ketrampilan khusus.
  17. Adanya anggapan bahwa wanita memang dibutuhkan dalam bermacam macam permainan cinta, baik sebagai iseng belaka maupun sebagai tujuan-tujuan dagang.
  18. Pekerjaan sebagai pelacur tidak membutuhkan keterampilan/skill, tidak memerlukan inteligensi tinggi, mudah dikerjakan asal orang yang bersangkutan memiliki kacantikan, kemudaan dan keberanian.
  19. Anak-anak gadis dan wanita-wanita muda yang kecanduan obat bius (hash-hish, ganja, morfin, heroin, candu, likeur/minuman dengan kadar alkohol tinggi, dan lain-lain) banyak menjadi pelacur untuk mendapatkan uang pembeli obat-obatan tersebut.
  20. Oleh pengalaman-pengalaman traumatis (luka jiwa) dan shock mental misalnya gagal dalam bercinta atau perkawinan dimadu, ditipu, sehingga muncul kematangan seks yang terlalu dini dan abnormalitas seks.
  21. Ajakan teman-teman sekampung/sekota yang sudah terjun terlebih dahulu dalam dunia pelacuran.
  22. Ada kebutuhan seks yang normal, akan tetapi tidak dipuaskan oleh pihak suami.
Secara sederhana faktor-faktor tersebut dapat dibagi dalam dua faktor yaitu faktor secara internal dan faktor secara eksternal. Secara internal berupa rendahnya standar moral dan nafsu seksual yang dimiliki orang tersebut. Sedangkan faktor eksternal berupa kesulitan ekonomi, korban penipuan, korban kekerasan seksual dan keinginan untuk memperoleh status  sosial yang lebih tinggi.



Usaha Mengatasi Prostitusi
Prostitusi menjadi hal yang sulit untuk diatasi, namun demikian bukan berarti hal tersebut tidak dapat dikurangi. Meskipun hal ini erat kaitannya dengan kebutuhan biologis manusia, tetapi ada beberapa langkah yang dapat dilakukan guna mengurangi atau pun mencegah terjadinya dampak negatif dari aktivitas penuh desah dan keringat ini, diantaranya berupa tindakan represif dan preventif, seperti:

1. Tindakan represif
Dalam KUHP prostitusi telah diatur pada pasal 296, 297 dan 506, yang diatur adalah mereka yang menjadi germo yang mencari wanita untuk tujuan prostitusi dan souteneur, akan tetapi kaidah-kaidahnya tidak sepenuh dapat dijalankan dengan konsekuen, sehingga perlu didukung lewat kebijakan-kebijakn baru yang lebih mengikat, misalnya dibuat kannya semacam Peraturan Daerah (PERDA) guna mendukung tindakan represif aparat. Seperti melakukan razia PSK, pengawasan dan pencegahan penyakit dan kebijakan lokalisasi.

2.    Tindakan Preventif
Tindakan preventif yaitu sebuah tindakan yang dilakukan untuk mencegah meluasnya jumlah prostitusi. Tindakan preventif dapat dilakukan dalam dua arti yaitu khusus dan umum.

Secara khusus, dapat dilakukan dalam bentuk pendidikan seks untuk anak sekolah lanjutan yang diarahkan untuk menghindarkan remaja dari seks bebas, penyuluhan mengenai bahaya penyakit kelamin seperti syphilis, pemberian bekal agama yang memadai yang dapat mencegah rendahnya moral, pengawasan tempat-tempat lokalisasi dari remaja, pengawasan pihak perwajib terhadap peredaran film cabul,  porno, majalah/buku cabul.

 Secara umum, dapat dilakukan dalam bentuk pencegahan meluasnya penyakit masyarakat, yang dilakukan dengan cara pembangunan masyarakat desa yang bertujuan untuk membenduung arus urbanisasi, memberikan porsi lebih bagi remaja untuk menyalurkan kelebihan energinya, memperluas lapangan kerja, dan pemberian upah yang layak bagi pekerja, khususnya bagi upah pekerja wanita, sesuai dengan kerjanya.

 Penutup
Dari sekelumit tentang fenomena prostitusi di kawasan pertambangan, maka dapat disimpulkan beberapa hl terkait hal tersebut diantara:
1.   Praktek prostitusi di Indonesia sudah berlangsung lama, dan menjadi sebuah keniscayaan untuk di berantas, namun bukan berarti pula aktivitas penuh desah dan keringat ini tidak dapat di cegah dan di kurangi. Beberapa langkah-langkah dapat dilakukan, baik dalam konteks tindakan represif maupun dalam bentuk tindakan preventif (umum dan Khusus) (lihat di halaman 12-13)
2.   Fenomena Praktek prostitusi dikawasan tambang, secara dominan disebabkan oleh sebuah kondisi dan kebutuhan dasariah para pekerja yang jauh dari keluarga, dan ketika libido seksual muncul, maka praktisnya adalah mendatangi lokalisasi yang ada disekitar kawasan tambang. 

3. Berprofesi sebagai PSK tentu saja bukanlah cita-cita bagi mereka yang saat ini bekerja sebagai PSK, jauh dari pada itu harus diyakini bahwa mereka mengingingkan kehidupan yang layak dan normal, namun situasi dan kondisi yang tak bersahabat menggelapkan mata dan naluri mereka untuk terjun sebagai PSK.
4. Maximaizing profit sering menjadi tujuan, sehingga menejemen perusahaan terkadang lupa untuk menjaga aktivitas pekerjanya, sehingga penting untuk dilakukan adalah bagaimana perusahaan sudah seharusnya untuk merubah mandset dari "maximaizing profit" menjadi lebih peduli pada lingkungan dan pekerjanya

DAFTAR PUSTAKA

1.      Akhmad Sudrajat.2008.”Sekilas Sejarah Pelacuran di Indonesia.” (online) http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/08/24/sekilas-sejarah-pelacuran-di-indonesia/ (di akses pada tanggal 10 Oktober 2014)
2.      Subiman, L.Nina, Budy.P Resosudarmo, 2010.”Tambang Untuk Kesejahteraan Rakyat: Konflik dan Usaha Penyelesaiannya.” (online). http://people.anu.edu.au/budy.resosudarmo/2006to2010/Nina_Reso_2010.pdf (diakses pada tanggal 10 Oktober 2014)
3.      DEPDIKBUD.2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta:Balai Pustaka
4.      Shadily, H.1998.Ensiklopedia Indonesia Edisi Khusus. Jakarta:Ichtiar Van Hoove
5.      Koentjaraningrat.1981. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.Jakarta:PT Gramedia
6.      Dirdjosisworo, S.1977.Pelacuran Ditinjau Dari Hukum dan Kenyataan.Bandung:PT Karya Nusantara
7.      Wahyunadi, A.et al.2004.Penelitian Partisipatori Anak yang Dilacurkan di Surakarta dan Indramayu. Bandung:UNICEF
8.      Kartono, K.1999.Patologi Sosial. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada
9.      Apriyanto, Dedek.Tanpa Tahun.”Dampak Kegiatan Pertambangan Batubara Terhadap Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Dikelurahan Loa Ipuh Darat, Tenggarong,Kutai Kartanegara.” (online) http://lib.geo.ugm.ac.id/ojs/index.php/jbi/article/viewFile/96/93 ,(diakses pada tanggal 10 Oktober 2014)
10.  E-Jurnal.com.2013.”Faktor-Faktor Penyebab Pelacuran”.(online) http://www.e-jurnal.com/2013/09/faktor-faktor-penyebab-pelacuran.html (diakses pada tanggal 10 Oktober 2014)
11.  Yunita Alfii.2014.”Patologi Sosial Mengenai Prostitusi.” (online) http://alfiiy.blogspot.com/2014/01/patologi-sosial-mengenai-prostitusi.html (diakses pada tanggal 10 Oktober 2014)
12.  Aneh di Dunia.com.2013.”Sejarah Profesi Pelacuran dunia.” (online) http://www.anehdidunia.com/2013/09/sejarah-profesi-pelacuran-dunia.html
13.  Radar Jogja.2014.”Praktik Prostitusi Beralih Tren.” (online) http://www.radarjogja.co.id/blog/2014/10/10/praktik-prostitusi-beralih-tren/ (diakses pada tanggal 10 Oktober 2014)







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Pertanggung Jawaban Wisuda Unikarta Tanggal 18 Desember 2013

LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN WISUDA SARJANA   DAN DIPLOMA UNIVERSITAS KUTAI KARTANEGARA 18 DESEMBER 2013   Oleh : PANITIA PELAKSANA WISUDA SARJANA DAN DIPLOMA (D3) UNIVERSITAS   KUTAI KARTANEGARA   UNIVERSITAS KUTAI KARTANEGARA TENGGARONG 2013   Wisuda sarjana dan diploma di Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta) merupakan kegiatan rutinitas pada setiap tahun akademik yang sedang berjalan jika memenuhi persyaratan-persyaratan pelaksanaan wisuda.   Wisuda sarjana dan diploma merupakan bagian dari kegiatan rapat senat akademik yang dilaksanakan secara terbuka, yang intinya merupakan proses pelantikan kelulusan mahasiswa yang telah selesai menempuh studi   di Unikarta. Acara wisuda sarjana dan diploma ini merupakan salah satu acara yang sangat penting ...

Peran Pemerintah dan Bisnis dalam Menjaga Kesehatan dan Keselamatan Kerja Para Pekerja

Oleh Martain Pendahuluan Kecelakaan kerja merupakan salah satu permasalahan yang sering terjadi pada pekerja di perusahaan. Masalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3), secara umum di Indonesia masih sering terabaikan. Hal ini ditunjukan dengan masih tingginya angka kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja ini biasanya terjadi karena banyak faktor beberapa diantaranya adalah berasal dari pekerja itu sendiri dan lingkungan kerjanya di perusahaan. Berdasarkan data International Labour Organization (ILO) tahun 2013, 1 pekerja di dunia meninggal setiap 15 detik karena kecelakaan kerja dan 160 pekerja mengalami sakit akibat kerja, di tahun sebelumnya (2012) ILO mencatat angka kematian dikarenakan kecelakaan dan penyakit akibat kerja (PAK) sebanyak 2 juta kasus setiap tahun. Di Indonesia, setiap tujuh detik terjadi kasus kecelakaan kerja ( K3 masih dianggap remeh , Warta Ekonomi 2 Juni 2006). BPJS mencatat bahwa sepanjang tahun 2013 jumlah pesertanya yang mengalami kecelakaan...