Oleh Martain
Pendahuluan
Istilah
Corporate Social Responsibility (CSR) jika di lihat dalam perspektif secara historis-nya, dengan mengacu kepada
literatur-literatur yang ada. Gunawan (2009) mengungkapkan bahwa istilah CSR
sudah ada sejak tahun 1970-an, dan semakin populer semenjak kehadiran dari buku
“Cannibal With Forks: Triple Bottom Line
in 21st Century Bussines”, Karya John Elkington, dengan konsep Triple bottom linenya, dalam ke
Indonesian kita mengenalnya dengan jargon 3P yaitu people, planet dan profit.
Konsep sederhana tetapi universal yang di ide kan oleh John Elkington untuk merangsang
pikiran kita tentang bagaimana mengurai benang merah keterikatan antara bisnis
(profit), masyarakat (people) dan lingkungan (planet).
Saat
ini bisnis tidak dapat lagi hanya berada dalam pola pikir yang tradisional
semata mencari profit, sebagaimana yang diungkapkan oleh pakar ekonom klasik,
Milton Friedman dengan mengatakan bahwa perusahaan merupakan institusi profit
yang berkewajiban untuk mencari keuntungan sepanjang masih dalam kerangka hukum
yang berlaku (Bahruddin, 2012:103). Memaksimalkan profit, tapi menggerus
masyarakat dan lingkungan dengan hanya bersandar pada regulasi yang bersifat
formal dan kaku.
Dalam
konteks ke-Indonesian, istilah CSR baru populer sejak tahun 1990-an (baca:
1992), meskipun dalam literatur yang lain juga disebutkan bahwa CSR sudah laksanakan
oleh perusahaan sejak puluhan tahun yang lalu, hanya saja terminologi yang
digunakan bukan lah terminologi CSR sebagaimana yang kita pahami bersama saat
ini, namun dalam terminologi yang lain, yang dikenal dengan sebutan CSA (Corporate Social Activity) atau
aktivitas sosial perusahaan (Gunawan, 2009:7), yang merepresentasikan peran
serta dan kepedulian perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan dimana
perusahaan tersebut beroperasi. Hal tersebut tidak terlepas dari akan
pentingnnya lisensi sosial bagi perusahaan. Dalam perspektif yang lain oleh
perusahaan mengangaap itu sebagai bagian dari upaya untuk investasi sosial
perusahaan guna mendapatkan labeling
dari masyarakat sebagai perusahaan yang konsen dan peduli terhadap kondisi
masyarakat setempat. Perusahaan menyadari bahwa memaksimalkan profit itu adalah
tujuan mereka, tetapi mendapatkan lisensi sosial sebagai perusahaan yang konsen
dan peduli kepada sosial jauh lebih penting dari sekedar memaksimalkan profit. Perusahaan
menyadari bahwa tanpa adanya lisensi sosial dari masyarakat lokal, maka profit
tidak akan dapat di maksimalkan. Jika masyarakat resisten (menolak) keberadaan
perusahaan di tempat mereka, maka perusahaan tidak akan mendapatkan profit
apa-apa, selain kerugian. Oleh karena itu menjadi penting bagi mereka untuk
melaksanakan kegiatan CSR guna menjaga perusahaannya agar tetap sustainable secara terus menerus.
Bentuk
implementasi CSR yang dilakukan oleh perusahaan di daerah operasi masing-masing
cukup beragam jenisnya, digantungkan pada pemahaman, kondisi dan apa yang
menjadi kebutuhan masyarakat. Namun demikian secara garis besar, menurut
Gunawan (2009:15-17) bentuk CSR yang dilakukan oleh perusahaan dapat di kelompokan
dalam tiga bentuk, yaitu : (1). Dalam bentuk karitatif (charity), program yang sifatnya murni untuk amal, dan biasanya sesuai
keinginan masyarakat. Bentuk ini cukup banyak kelemahannya karena tidak bisa
memberikan jaminan kesejahteraan bagi masyarakat dalam rentan waktu yang lama,
muncul kesan memanjakan masyarakat, dan rentan terhadap munculnya konflik yang
sifatnya horizontal (sesama masyarakat), (2). Bentuk kedermawanan (philanthropy), bentuk ini umumnya
dilakukan oleh orang-orang yang punya cukup banyak dana (kaya) dan ingin beramal sekaligus ingin
mengatasi masalah sampai ke akarnya. Mereka yang melakukan CSR dalam bentuk
ini, mengacu pada kesadaran norma etika dan hukum yang universal akan perlunya
dilakukan redistribusi kekayaan. Program ini berwujud hibah untuk pembangunan
baik infrastruktur maupun SDM, dan kelompok sasarannya bukan hanya orang miskin
saja tapi kepada masyarakat luas, (3). Bentuk pemberdayaan masyarakat, salah
satu implementasi CSR adalah melalui apa yang disebut dengan Corporate citizenship, yaitu suatu cara
pandang perusahaan dalam bersikap dan berprilaku ketika berhadapan dengan pihak
lain, misalnya berhadapan dengan customer,
supplier, community, goverment dan stakeholder
yang lain. Corporate citizenship
salah satu tujuannya adalah memperbaiki reputasi perusahaan, meningkatkan
keunggulan kompetitif dan membantu memperbaiki kualitas hidup manusia. Corporate citizenship juga terkait
dengan masalah pembangunan masyarakat, perlindungan dan pelestarian lingkungan
dan tak kala pentingnya adalah bagaimana memberikan akses terhadap pemberdayaan
masyarakat (community development).
Prof.
Mudiyono (Dosen PSDK UGM) dalam paparannya di perkuliahan pada mata kuliah “CSR dan Pemberdayaan Masyarakat”
tanggal 02 Desember 2014, di ruang BA 104 FISIPOL UGM dengan topik bahasan “Corporate Social Responsibility
(CSR) Dan Community Development (CD)”
menyampaikan bahwa Kegiatan Community Development menjadi penting untuk dilakukan oleh
perusahaan guna mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi antara masyarakat dengan
perusahaan. Kesenjangan itu sering terjadi antara penduduk lokal dan para
pekerja perusahaan yang memiliki aset dan keterampilan yang lebih maju.
Kehadiran perusahaan berpotensi memicu konflik kepentingan. Dengan demikian
konsep pemberdayaan masyarakat dapat menjadi intrument yang tepat untuk memperpendek jarak kesenjangan antara
sosial dan ekonomi, meretas sisi ekslusif bisnis terhadap masyarakat, guna
menciptakan harmonisasi yang baik antara masyarakat dengan perusahaan.
Paper ini akan fokus pada pembahasan bentuk CSR yang
ketiga tentang pemberdayaan masyarakat (Community
Development) yaitu bagaimana CSR berperan sebagai agen pemberdayaan masyarakat.
Dalam pengkajiannya nanti akan ditunjang dengan data-data yang di ramu dari
berbagai sumber terkait dengan topik paper
ini.
Konsep
Corporate Social Responsibility (CSR)
Sampai saat ini belum
ada terminologi yang jelas, untuk mendefinisikan tentang CSR,. Masing-masing
orang memiliki pendefinisian masing-masing tentang CSR. Padahal konsep yang
jelas akan membantu untuk memperjelas arah dan ketercapaian dari implementasi
CSR yang dilakukan oleh perusahaan. Ada yang mendefinisikan CSR hanya sebagai
sebuah voluntery, ada juga yang
mendefinisikan CSR itu sebagai sebuah bentuk tanggung jawab sosial yang
diwajibkan (obligation). Bahkan ada
pula yang mengatakan CSR itu hanya untuk eksternal perusahaan, tetapi ada juga
yang mengatakan bahwa CSR itu untuk internal perusahaan, bahkan ada yang
mengatakan kedua-duanya (internal dan eksternal). Terlepas dari beragamnya
konsep tentang CSR, namun kita dapat mengambil beberapa konsep yang diutarakan
oleh para pakar ataupun lembaga guna membantu kita untuk mencoba mendudukan CSR
sebagai tanggung jawab sosial yang seperti Apa. Misalnya saja konsep CSR yang
didefinisikan oleh World Bank (Fox, Ward and Howard, 2002:1 dalam
Bahruddin, 2012:107), mendefinisikan CSR sebagai komitmen sektor bisnis untuk
mendukung terciptanya pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). World
Business Council for Sustainable Development (WBCSD) mendefinisikan CSR
adalah sebagai komitmen keberlanjutan dari sektor bisnis untuk berpartisipasi
meningkatkan pembangunan ekonomi sekaligus meningkatkan kesejahteraan pekerja
(karyawan), keluarganya dan juga masyarakat luas (WBCSD, 2000 dalam Bahruddin,
2012:107). Selanjutnya masih dalam sumber yang sama European Commision dalam green
paper yang berjudul “Promoting a
European framework for corporate sosial responsibility” (EU) mendefinisikan
CSR sebagai konsep yang menempatkan perusahaan untuk mengintegrasikan sosial
dan lingkungan sebagai bagian penting dalam kegiatan bisnisnya dan juga
interaksinya dengan stakeholders lain yang berbasis voluntary. Meskipun kemudian konsep EU ini mendapatkan kritikan
keras dari berbagai pihak karena menempatkan CSR bukan sebagai komitmen tetapi
sebagai voluntary.
Namun dari berbagai
definisi-definisi tersebut tentang CSR logic
yang dapat kita ambil adalah bahwa CSR menjadi kebutuhan perusahaan guna
menjaga sustainability-nya. Bahwa apa yang dikontribusikan oleh perusahaan
tidak hanya bermanfaat untuk masyarakat tetapi juga bermanfaat bagi perusahaan
itu sendiri. Sehingga dengan demikian
pada posisi ini, kita tidak perlu memperdebatkan lagi menyangkut ada
atau tidak, namun lebih dari pada itu kita telah memposisikan CSR sebagai
bentuk kedermawanan atau kewajiban (obligation).
International
Petroleum Industry Environment Conservation Association
(IPIECA) (Bahruddin, 2012:108) menegaskan
bahwa adanya CSR di industri minyak dan gas bumi akan memberikan beberapa
manfaat. Pertama, membantu perusahaan
membangun reputasi positif dimata investor,
pemerintah dan media. Reputasi ini menjadi penting ditengah kompentisi bisnis
migas yang semakin ketat. Kedua, meningkatkan
iklim bisnis industri minyak dan gas bumi. Ketiga,
mendorong akses untuk perluasan bisnis dalam negeri maupun lintas Negara. Keempat, semakin diminati para pekerja
karena merasa nyaman bekerja di institusi yang menghargai hak asasi manusia
(HAM). Kelima, menjaga kepastian
produksi melalui tumbuhnya lisensi sosial. Karena lisensi sosial merupakan
kebutuhan pokok bagi industri minyak dan
gas bumi. Banyak perusahaan berhenti produksi karena gangguan sosial. Jutaan
dolar hilang begitu saja karena terhentinya pekerjaan. Atas kelima manfaat
tersebut lah yang secara alami “memaksa” perusahaan untuk melaksanakan CSR atas
kesadaran diri tanpa keterpaksaan regulasi. Meskipun juga harus kita akui bahwa
tidak semua perusahaan atau orang akan mengatakan hal yang sama tentang
arus-arus argumentasi yang kita bangun tersebut, karena orang akan memandang
dalam kerangka pandang mereka masing-masing.
Di negara berkembang
seperti Indonesia diterbitkan beberapa aturan hukum terkait tanggung tawab sosial perusahaan tujuannya adalah untuk
mengikat dan mempertegas kembali tentang kewajiban perusahaan terhadap lingkungan
dan sosialnya, karena banyak juga perusahaan yang acuh untuk melaksanakan CSR
ini sebagai sebuah kewajiban yang harus di keluarkan. Banyak juga opini yang
terbangun di kalangan perusahaan bahwa dana CSR mereka telah terakumulasi dalam
pajak-pajak yang mereka bayarkan kepada negara. Dan negara lah yang bertanggung
jawab untuk mendistribusikan dana-dana tersebut kepada masyarakat. Padahal
kalau kita mengacu kepada Undang- Undang nomor 40 tahun
2007 tentang perseroan terbatas, pasal 74 ayat 2 disebutkan bahwa tanggung
jawab sosial dan lingkungan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) di Undang-Undang yang sama (UU
nomor 40 tahun 2007) merupakan kewajiban
perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang
pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran, hal ini
kemudian sinkron dengan ketentuan yang diatur pada pasal 66 UU nomor 40 tahun
2007 yang mengatur tentang laporan
tahunan, dimana direksi dalam laporan tahunannya pada rapat umum pemegang
saham, di dalam laporannya sekurang kurangnya
harus memuat terkait beberapa hal
diantaranya sebagaimana pada point c
yaitu mengenai laporan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dengan
demikian jelas lah bahwa biaya pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan
(TJSL) diperhitungkan sebagai salah satu pengeluaran perusahaan pada akhir
tahun buku. Namun demikian hal yang harus dipahami bahwa biaya TJSL bukan lah
pajak tambahan bagi perseroan atau inklut
di dalam pembayaran pajak itu sendiri, akan tetapi hal yang harus dibedakan
adalah uang untuk pengutan pajak itu digunakan untuk pembangunan secara
nasional sedangkan dana TJSL dipergunakan bagi masyarakat sekitar perusahaan
dan pemulihan lingkungan dimana perusahaan berada, sehingga terkait hal
tersebut tidak dapat di generalisir
(Sandi dan Karina, 2012:67-69).
Beberapa aturan lain yang terkait
adalah Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47
Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, Peraturan Menteri BUMN
Nomor Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan dan Bina
Lingkungan (PKBL). Regulasi tersebut bersifat wajib pada domain perusahaan
yang berbeda, mulai dari statuta, jenis usaha, cakupan dan lokasi perusahaan.
Namun intinya adalah bagaimana negara hadir untuk memaksa perusahaan untuk
peduli kepada lingkungan sosial, dimana mereka beroperasi dan tidak melulu profit oriented, meskipun itu adalah
tujuan utamanya.
Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Konsep
pendekatan umum yang sekarang sering di gunakan dalam meningkatkan kualitas
kehidupan warga masyarakat adalah dengan pemberdayaan masyarakat. Konsep ini
menjadi sangat penting, terutama karena memberikan perspektif positif terhadap
kelompok masyarakat yang serba kekurangan. Cukup banyak literatur yang
menyebutkan tentang pemberdayaan atau pemberdayaan masyarakat. Konsep tentang
pemberdayaan, mengilhamkan pada suatu kondisi dimana sebuah obyek itu lemah,
tak berdaya, menjadi antithesis dari kondisi kuat, punya daya.
Krisdiyatmiko
(2012:142) memberikan pemaknaan yang identik tentang pemberdayaan sebagai upaya
memberi power kepada yang powerless, yaitu masyarakat marjinal
yang selama ini miskin dan terabaikan dari program-program pembangunan atau
pengembangan masyarakat. Power dalam
bahasa Indonesia diartikan sebagai kekuasaan dan kekuatan, berdasar pada
pemaknaan ini, maka pemberdayaan, dapat termaknai dalam dua pemaknaan yaitu: pertama itu sebagai suatu proses memberikan
atau mengalihkan sebagian kekuasaan dan kekuatan dari powerfull ke powerless, kedua suatu proses memotivasi
individu/masyarakat agar memiliki kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan
apa yang menjadi pilihan hidupnya
Sehingga dengan pemaknaan tersebut, maka dalam
konteks pemberdayaan, tidak bisa jika hanya memberikan kekuatan (kemampuan),
berupa pengetahuan, keterampilan atau sejenisnya, tetapi juga harus dibarengi
dengan pemberian (pendistribusian) kekuasaan dari yang powerlfull ke masyarakat yang powerless.
Pemaknaan yang senada tentang pemberdayaan di
ungkapkan pula oleh Jim Ife (1995), bahwa pemberdayaan bertujuan meningkatkan
kekuasaan kelompok yang lemah atau tidak beruntung. Rappaport (1984),
pemberdayaan adalah suatu cara mengarahkan rakyat, organisasi dan
komunitas agar mampu menguasai (atau
berkuasa atas) kehidupannya. Swift dan Lenin (1987), pemberdayaan menunjukkan
pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan
melalui perubahan struktur sosial. Parros (1994), bahwa pemberdayaan
adalah sebuah proses yang membuat orang menjadi kuat untuk berpartisipasi dalam
berbagai pengontrolan atas dan mempengaruhi terhadap kejadian serta
lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa
orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk
mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya
(Sutoro Eko, 2005).
Menurut Eko Darmawan (Pendiri Komunitas Pemberdayaan
Masyarakat (KPM) Banyuwangi (http://kpmbwi.blogspot.com) bahwa pemberdayaan masyarakat sebenarnya adalah
sebuah konsep pembangunan ekonomi dan politik yang merangkum berbagai nilai sosial.
Konsep ini mencerminkan pradigma baru pembangunan yakni yang bersifat “people centered, participatory, empowering,
and a sustainable”
Dalam konsep pemberdayaan, masyarakat di pandang
sebagai subyek yang dapat melakukan perubahan, oleh karena itu diperlukan
pendekatan yang dikenal dengan singkatan
ACTORS, yaitu:
- Authority (wewenang), pemberdayaan dilakukan dengan memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk melakukan perubahan yang mengarah pada perbaikan kualitas dan taraf hidup mereka.
- . Comfidence and Competence (rasa percaya diri dan kemampuan diri), pemberdayaan dapat diwakili dengan menimbulkan dan memupuk rasa percaya diri serta melihat kemampuan bahwa masyarakat sendiri dapat melakukan perubahan.
- . Truth (keyakinan), untuk dapat berdaya, masyarakat atau seseorang harus yakin bahwa dirinya memiliki potensi untuk dikembangkan.
- . Opportunity (kesempatan) yakni memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memilih segala sesuatu yang mereka inginkan sehingga dapat mengembangkan diri sesuai dengan potensi yang mereka miliki
- . Responsibility (tanggung jawab) yaitu perlu ditekankan adanya rasa tanggung jawab pada masyarakat terhadap perubahan yang dilakukan
- . Support (dukungan) yaitu adanya dukungan dari berbagai pihak agar proses perubahan dan pemberdayaan dapat menjadikan masyarakatlebih baik.
Dari sejumlah pemaknaan tentang pemberdayaan
tersebut, maka point penting dari kegiatan pemberdayaan adalah bagaimana semua
aktivitas pemberdayaan harus berorientasi pada kegiatan pemberdayaan
masyarakat. Bagaimana para kelompok lemah yang menjadi sasaran dari aktivitas
pemberdayaan tersebut mampu untuk kuat, mandiri dan melangsukan hidupnya secara
lebih baik dari sebelum mendapatkan kegiatan pemberdayaan dan yang terpenting
adalah bagaimana menempatkan masyarakat sebagai subyek dari pemberdayan, karena
mereka yang tahu apa permasalahan yang mereka alami, sehingga sudah selayaknya
memberikan ruang yang luas kepada masyarakat untuk menyelesaikan
permasalahannya.
CSR Sebagai Agen Pemberdayaan
Masyarakat
Ketika menempatkan Corporate Sosial Responsibility (CSR)
sebagai agen pemberdayaan masyarakat. Maka pertanyaan sederhananya, di ruang
mana CSR akan masuk sebagai agen dari pemberdayaan masyarakat?
Menurut Sovia Emmy/Asosiasi PPSW (dalam, http://www.ppsw.or.id)
ada beberapa kelemahan dari pemberdayaan masyarakat antara lain sbb :
- Kegiatan pemberdayaan rakyat
selama ini ditujukan pada masyarakat lokal dan befokus pada society problems. Padahal
masalahnya tidak sebatas itu saja, akan tetapi menjangkau baik aspek mikro
dan makro. Dengan pemberdayaan masyarakat bisa terwujud kemampuan dari
diri sendiri dan dari luar untuk memiliki bargaining power.
- Ketergantungan pada pada sumber
dana dari luar . Penerapan pemberdayaan masyarakat dengan mengandalkan
dana dari luar ( bantuan pemerintah, asing ).
- Struktur perekonomian yang
berat sebelah diatas dan rapuh di bawah. Hal itu terjadi karena kurang
seimbangnya perhatian yang diberikan pemerintah Indonesia sejak awal
sampai kini pada pengembangan ekonomi kelompok-kelompok usaha mikro,
kecil, dan menengah dibandingkan dengan kelompok-kelompok usaha besar.
Menurut
Yentifa (2008:41-46), implementasi program CSR dalam pemberdayaan ekonomi
masyarakat lokal dapat dilakukan dalam beberapa bentuk antara lain :
1.
Bantuan
modal, salah satu aspek permasalahan yang dihadapi oleh
masyarakat adalah permodalan. Lambannya akumulasi capital di kalangan pengusaha
mikro, kecil, dan menengah, merupakan salah satu penyebab lambannya laju
perkembangan usaha dan rendahnya surplus usaha di usaha mikro, kecil dan
menengah. Faktor modal juga menjadi salah satu sebab tidak munculnya
usaha-usaha baru di luar faktor ekstraktif.
2.
Bantuan
pembangunan prasarana, usaha mendorong produktivitas dan
mendorong tumbuhnya usaha, tidak akan memiliki arti penting bagi masyarakat,
kalau hasil produksinya tidak dapat dipasarkan, ataupun kalaupun dapat dijual
tetapi dengan harga yang rendah, oleh sebab itu komponen penting dalam usaha
pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi adalah pembangunan sarana produksi
dan pemasaran. Tersedianya prasarana pemasaran dan atau transportasi dari
lokasi produksi ke pasar akan mengurangi rantai pemasaran dan pada akhirnya
akan meningkatkan penerimaan petani dan pengusaha mikro, kecil dan menengah.
Artinya dari sisi pemberdayaan ekonomi maka proyek pembangunan prasarana
pendukung sangat strategis.
3.
Bantuan
pendampingan, pendampingan masyarakat ekonomi lemah
memang perlu dan penting. Tugas utama pendampingan ini adalah memfasilitasi
proses belajar atau refleksi dan menjadi mediator untuk penguatan kemitraan
baik antara usaha mikro, kecil maupun menengah dengan usaha besar.
4.
Penguatan
Kelembagaan, pemberdayaan ekonomi pada masyarakat
lemah hendaklah dilakukan dengan pendekatan kelompok. Alasannya adalah
akumulasi capital akan sulit dicapai di kalangan orang miskin oleh sebab itu
akumulasi capital harus dilakukan bersama-sama dalam wadah kelompok atau usaha
bersama. Demikian pula dengan masalah distribusi, orang miskin mustahil dapat
mengendalikan distribusi hasil produksi dan imput produksi secara individual.
Melalui kelompok, mereka dapat membangun kekuatan untuk ikut menentukan
distribusi.
5.
Penguatan
Kemitraan Usaha, penguatan ekonomi rakyat atau
pemberdayaan masyarakat dalam ekonomi tidak berarti mengaliansi pengusaha besar
atau kelompok ekonomi kuat, karena pemberdayaan memang bukan menegaskan yang
lain, tetapi give power to every body.
Pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi adalah penguatan bersama dimana
yang besar hanya akan berkembang kalau ada yang kecil dan menengah dan yang
kecil akan berkembang kalau ada yang besar dan menengah. Daya saing yang tinggi
hanya ada jika ada keterkaitan antara yang besar dengan yang menengah dan
kecil. Sebab hanya dengan keterkaitan produksi yang adil, efisiensi akan
terbangun. Oleh sebab itu melalui kemitraan dalam bidang permodalan, proses
produksi, distribusi masing-masing akan diberdayakan.
Permasalahan
lain yang sering dihadapi dan sekaligus menjadi penyebab gagalnya proses
pemberdayaan masyarakat adalah terkait komunikasi yang digunakan. Komunikasi
yang tidak tepat menyebabkan pesan yang ingin disampaikan juga tidak
tersampaikan dengan baik kepada pihak penerima pesan. Ada di sebagian oknum
dari pelaku pemberdayaan senantiasa hanya berfikir instan, sekedar menunaikan
kewajiban “proyek”, sejauh mana hasilnya bagi mereka tidak menjadi soal, akibatnya hasilnya kurang tampak terlihat dan
berasa bagi penerima program pemberdayaan.
John
W. dan Matilda White Riley, dalam Linda Darmajanti (www.academia.edu) dengan
model komunikasi sosiologisnya, hadir untuk menjadi salah satu alternatif
pilihan komunikasi yang dapat digunakan para pelaku pemberdayaan. Model
komunikasi John W. dan Matilda White Riley, lebih menekankan kepada bagaimana pesan dan reaksi
individu terintegrasi ke dalam proses dan struktur social. Riley
mengilustrasikan bagaimana dampak sosiologik dari komunikasi, komunicator
adalah bagian dari pola yang lebih besar, memberikan pesan sesuai dengan
harapan dan tindakan orang lain dalam struktur sosial yang sama (penerimaan
bagian dari proses). Jadi si penerima memperoleh pesan sebagai anggota kelompok
utama (primary group). Referensi kelompok mungkin akan
memperoleh tekanan yang positif dari
pesan yang disampaikan, meskipun kadang bisa negatif termaksud sikap
permasalahan adalah faktor lain dari situasi
yang ada. Jadi menurut rileys, latar belakang sosial, pendidikan,
pertemanan, budaya, pendapatan, dan lain-lain.
Padahal
komunikasi sosial akan efektif jika mempertimbangkan secara sosiologis siapa
yang menjadi aktor sebagai komunikator karena pesan yang disampaikan akan lebih
efektif jika sesuai dengan kondisi sosial ekonomi penerima pesan . Pada umumnya
faktor sosiologis itu tidak diperhitungkan, selain secara struktural/birokrasi
aktor hanya dilihat sebagai pembawa pesan (komunikator). Selain itu sering kali
tidak dipertimbangkan pemahaman tentang struktur sosial budaya dan politik
masyarakat setempat. Padahal komunikatif akan efektif jika struktur sosial
budaya setempat dijadikan kerangka besar dalam merumuskan strategi komunikasi
program. Disamping itu terkait dengan pesan, pesan pemberdayaan mengandung
nilai-nilai yang diharapkan dapat meningkatkan kelompok kemampuan kelompok
sasaran terkait tujuan program . Oleh sebab itu proses sosialisasi dalam
penanaman nilai-nilai sebagai kunci
keberhasilan usaha mengubah prilaku, menjadi tumpuan sosial yang efektif
sebagai strategi pemberdayaan
CSR
dalam konteks pemberdayaan masyarakat, dapat memposisikan diri untuk mengisi
ruang-ruang ketidak berdayaan dari masyarakat itu sendiri. CSR bisa masuk dalam
ruang bantuan modal usaha, pembangunan prasarana, pendampingan, penguatan
kapasitas kelembagaan, dan penguatan kemitraan usaha serta komunikasi, yang
selama ini menjadi permasalahan utama dari ke tidak berdayaan masyarakat. Namun
demikian, CSR jangan sampai menjadi candu bagi masyarakat, atau pun menjadi
sandra bagi perusahaan atau pun bahkan menjadi racun bagi keduanya.
Kesimpulan
Bisnis sudah saatnya untuk hijrah dari zona
klasiknya dari hanya profit oriented,
ke zona untuk lebih peduli kepada masyarakat dan lingkungan. Fakta telah
menunjukan bahwa banyak perusahaan gagal untuk survive (bertahan) karena selalu mendapatkan resistensi dari
masyarakat karena. Meningkatnya kesadaran kritis masyarakat, menjadi ancaman
bagi perusahaan, jika tidak pandai untuk memenejemeninya, maka akan menjadi bumerang
bagi perusahaan itu. CSR dapat menjadi instrument
yang ideal untuk menjadi penghubung antara bisnis dan masyarakat dalam menjaga
harmonisasi di antara keduanya.
CSR yang dikeluarkan oleh perusahaan sudah
sepatutnya di dorong oleh kesadaran etis
dari bisnis untuk peduli pada masyarakat dan lingkungan di sekitarnya, namun
demikian jangan sampai CSR yang dikeluarkan tersebut menghilangkan hakekat
mereka untuk mencari profit.
Pemberdayaan masyarakat adalah bentuk konkrit dari
implementasi CSR yang dikeluarkan bisnis, karena dengan pemberdayaan
masyarakat, akan di dorong untuk menjadi masyarakat yang powerfull dari powerless.
Namun yang terpenting adalah jangan sampai implementasi dari CSR itu menjadi candu
bagi masyarakat, dan menjadi sandra bagi perusahaan, hingga kemudian menjadi
racun untuk keduanya.
CSR sebagai agen dari pemberdayaan masyarakat, bisa
masuk ke dalam ruang-ruang ketidakberdayaan masyarakat yang selama ini menjadi
permasalahan utama dari powerlesnya
mereka, CSR bisa masuk dalam ruang bantuan modal usaha, pembangunan prasarana,
pendampingan, penguatan kapasitas kelembagaan, dan penguatan kemitraan usaha
serta komunikasi pada level steakholder.
DAFTAR PUSTAKA
- Susetiawan.dkk.
2012. Corporate Social Responsibility:
Komitmen untuk Pemberdayaan Masyarakat.
Yogyakarta: Azzagrafika.
- Gunawan,
Alex.2009. Membuat Program CSR Berbasis
Pemberdayaan Partisipatif. Yogyakarta: Publisher Company.
-
Muldiyono.2014. “Corporate Social Responsibility (CSR) Dan
Community Development (CD)”. Bahan ajar disampaikan dalam perkuliahan Mata
Kuliah CSR dan Pemberdayaan Masyarakat Jurusan PSDK Fisipol UGM di Yogyakarta
pada tanggal 02 Desember 2014.
- Armel Yentifa,
2008, “CSR sebagai Instrumen Pemberdayaan
Ekonomi Lokal, Jurnal Akutansi & Manajemen: Vol 3 No.1”, halaman 41-46.
-
Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
-
Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi
-
Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
- Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
- Peraturan
Menteri BUMN Nomor Per-05/MBU/2007 Tentang Program Kemitraan dan Bina
Lingkungan
- Komunitas Pemberdayaan Masyarakat Banyuwangi. 2011.
Penanganan Masalah dalam Pemberdayaan.
(online). http://kpmbwi.blogspot.com/2011/03/penanganan-masalah-dalam
pemberdayaan.html. Diakses : 25 Desember 2014
- Assosiasi Pengorganisasian Masyarakat , penelitian,
pelatihan, Seminar, dan Publikasi. 2014. Pemberdayaan
Masyarakat dalam Era Global (online) (http://www.ppsw.or.id/index.php/19-berita-terbaru/204-pemberdayaan
masyarakat-dalam-era-global. Diakses : 25
Desember 2014.
-
Darmajanti,
Linda. (Tanpa Tahun). ”Komunikasi Sosial
Efektif Sebagai Strategi Pemberdayaan”
(online) http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:p5XXf7dU3y8J:www.academia.edu/1167251/Komunikasi_Sosial_Efektif_Sebagai_Strategi_Pemberdayaan+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id. Diakses : 26 Desember 2014

Komentar
Posting Komentar